Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengungkapkan beberapa faktor utama yang menyebabkan keterlambatan penerbangan domestik selama periode angkutan Lebaran 2025, mulai dari kondisi cuaca, masalah teknis, hingga operasional maskapai. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Lukman F. Laisa, menjelaskan bahwa tingkat ketepatan waktu atau on-time performance (OTP) untuk rute domestik secara kumulatif dari 21 Maret hingga 11 April 2025 mencapai 83 persen. Angka ini masih di bawah pencapaian OTP untuk rute internasional yang mencapai 91,88 persen. "Tingginya on-time performance internasional dipengaruhi oleh fasilitas bandara di luar negeri yang lebih baik, sehingga waktu transit dapat berjalan lebih cepat," ujar Lukman dalam rapat dengan Komisi V DPR RI, Kamis (22/5/2025), yang dikutip dari Antara. Lebih lanjut, Lukman menyatakan bahwa faktor cuaca merupakan penyebab utama keterlambatan dalam penerbangan domestik, diikuti oleh masalah teknis dan manajemen maskapai. "Namun, yang paling dominan (menyebabkan keterlambatan) adalah cuaca," katanya. Lebih lanjut, Lukman menyebut faktor cuaca menjadi penyumbang terbesar keterlambatan di penerbangan domestik, disusul persoalan teknis dan manajemen maskapai. "Namun, yang paling dominan (menyebabkan keterlambatan) adalah cuaca," katanya. Sebagai langkah penanganan, Kemenhub telah menerapkan berbagai kebijakan, termasuk manajemen keterlambatan melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 mengenai Penanganan Keterlambatan Penerbangan. Selain itu, terdapat peraturan baru yaitu Permenhub Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, yang mendorong efisiensi operasional maskapai. Dalam kesempatan yang sama, Presiden Direktur Lion Air Group, Daniel Putut Kuncoro Adi, juga mengakui bahwa cuaca merupakan faktor keterlambatan yang signifikan. Namun, ia juga menyoroti tantangan lain yang muncul dari sistem transit bandara, terutama ketika penerbangan penumpang melibatkan lebih dari satu maskapai. Daniel memberikan contoh kasus penumpang yang terbang dari Medan ke Jayapura dengan transit di Jakarta. Ia menjelaskan bahwa perpindahan dari Terminal 1A, tempat Lion Air mendarat, ke Terminal 3, tempat Garuda Indonesia berangkat, dapat memakan waktu dan meningkatkan risiko keterlambatan. "Bayangkan Lion Air mendarat di Terminal 1A, Garuda berangkat dari Terminal 3, bagaimana menghubungkan Terminal 1A ke Terminal 3," keluh Daniel, merujuk pada kondisi di Bandara Soekarno-Hatta. Ia menilai bahwa fasilitas kereta layang (kalayang) di bandara tersebut belum optimal karena lokasinya berada di luar terminal. Daniel menyarankan agar kalayang didesain ulang agar lebih terintegrasi seperti di bandara-bandara internasional lainnya. "Jika ada penumpang yang memilih ini dalam jumlah besar, kontribusi terhadap keterlambatan pun semakin besar. Oleh karena itu, perlu ada desain konektivitas untuk mempercepat," ujarnya.